Wednesday 10 March 2010

ANAK TUNA LARAS

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua anak, baik normal maupun tuna (berkelainan) memiliki kesempatan sama di dalam hal pendidikan dan pengajaran. Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan baik dalam kondisi fisik maupun psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dalam kehidupannya.
Anak luar biasa diasumsikan berkaitan dengan kondisi jasmani maupun rohani yang berkelainan dibanding anak normal. Oleh karena itu anak digolongkan luar biasa apabila anak itu tidak masuk pada kategori sebagai anak normal baik fisik, mental maupun intelegensinya. Permasalahan mendasar bagi anak-anak luar biasa, biasanya ditunjukkan dengan perilakunya ketika melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak normal pada umumnya. Contoh, ketika bergaul mereka menghadapi sejumlah kesulitan baik dalam kegiatan fisik, psikologis maupun sosial. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Keluarbiasaan jenis apapun yang disandang anak tuna merupakan pengalaman personal. Ini berarti siapapun yang berada diluar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengerti, memahami dan mengalaminya. Anak atau siswa tuna laras yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang dipikirkannya.
Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya. Dengan adanya keluarbiasaan dalam diri seseorang sering eksistensinya sebagai makhluk sosial dapat saja terganggu. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak itu maka efek psikologis yang ditimbulkannya juga tergantung dari seberapa berat ketunaan yang disandangnya itu, kapan saat terjadinya kecacatan, seberapa besar kualitas kecacatan dan karakteristik susunan kejiwaan anak atau siswa tersebut sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya Dari beberapa kajian yang telah dilakukan terhadap isolasi sosial anak, menunjukkan anak sering menjadi kaku, mudah marah dan bila dihubungkan dengan perilakunya menunjukkan seakan bukan pemaaf dan tidak mempunyai rasa sensitif terhadap orang lain. Hal lain menunjukkan bahwa anak-anak seperti itu mempunyai kesulitan mendasar dalam hal sosialisasi dan bahkan komunikasi.
Sifat-sifat seperti itu merupakan rintangan utama dalam melakukan kepuasan hubungan interpersonal bagi anak-anak luar biasa. Ketersendirian sebagai akibat rasa rendah diri merupakan tantangan dalam melakukan sosialisasi dan penerimaan diri akan kelainan yang dimilikinya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas rumusan masalah yang ingin penulis angkat yaitu tentang tuna laras, mulai faktor penyebabnya, karakteristik dan klasifikasi serta pendidikan yang tepat bagi mereka.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuna Laras
Istilah resmi “tuna laras” baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB). Istilah tersebut berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” yang berarti sesuai. Jadi, anak tuna laras berarti anak yang bertingkah laku kurang/ tidak sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat tempat ia berada. Anak tuna laras sering disebut dengan anak tuna sosial karena tingkah laku mereka menunjukkan penentangan yang terus menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain (Soemantri, 2006)
Istilah yang digunakan untuk anak yang berkelainan perilaku (anak tuna laras) dalam konteks kehidupan sehari-hari di kalangan praktisi sangat bervariasi. Perbedaan pemberian julukan kepada anak yang berperilaku menyimpang tidak lepas dari konteks pihak yang berkepentingan. Misalnya, para orang tua cenderung menyebut anak tuna laras dengan istilah anak jelek (bad boy), para guru menyebutnya dengan anak yang tidak dapat diperbaiki (incurrigible), para psikeater/ psikolog lebih senang menyebutnya sebagai anak yang terganggu emosinya (emotional disturb child), para pekerja sosial menyebutnya sebagai anak yang tidak dapat mengikuti aturan atau norma sosial yang berlaku (social maladjusted child), atau jika mereka berurusan dengan hukum maka para hakim biasa menyebutnya sebagai anak-anak pelanggar/ penjahat (deliquent).
Terlepas dari julukan yang diberikan kepada para tuna laras, secara substansial kesamaan makna yang terdapat pada pemberian “gelar” pada anak tuna laras, disamping menunjuk pada cirinya, yaitu terdapatnya penyimpangan perilaku sebagai pelanggaran terhadap peraturan/ norma yang berlaku dilingkungannya (Sunardi, 1985), juga akibat dari perbuatan yang dilakukannya dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, …..a behavior deviation is that behavior of a child wich; (i) has a detrimental effect on his development and adjustment and/ or (ii) interferers with the lives of other people(Kirk, 1970).
Menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak tuna laras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/ berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan/ norma-norma sosial dengan frekuensi cukup besar, tidak/ kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977 menyebutkan, yang disebut tuna laras adalah (1) anak yang mengalami gangguan/ hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak/ kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan, sekolah, maupun masyarakat; (2) anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku dimasyarakat; (3) anak yang melakukan kejahatan.
Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah pada definisi Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dikatakan memiliki hambatan emosional atau kelainan perilaku apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini :
a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, pengindraan atau kesehatan
b. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan dengan teman dan guru
c. Bertingkahlaku yang tidak pantas pada keadaan normal
d. Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus-menerus
e. Cenderung menunjukkan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah sekolah (Delphie, 2006)
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang diidentifikasikan mengalami gangguan atau penyimpangan perilaku adalah individu yang :
a. Tidak mampu mendefinisikan dengan tepat kesehatan mental dan perilaku yag normal
b. Tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri
c. Mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi (Hallahan& Kauffman, 1991)
Beberapa komponen yang penting diperhatikan dalam menilai seorang anak mengalami gangguan emosi/ perilaku atau tidak, yaitu :
a. Adanya penyimpangan perilaku yang terus menerus menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri
b. Penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan

B. Klasifikasi Tuna Laras
Secara garis besar anak tuna laras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (social maladjusted) dan anak yang mengalami gangguan emosi (emotional disturb). William M. C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut sebagai berikut :
1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial :
a. The semi-socialize child
Anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial namun terbatas hanya pada lingkungan tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan norma/ aturan yang ada dikelompok/ keluarganya dengan norma/ aturan yang ada di masyarakat.
b. Children arrested at a primitive level of socialization
Anak pada kelompok ini perkembangan sosialnya berhenti pada tingkatan yang rendah. Hal ini disebabkan mereka tidak mendapat bimbingan dan dorongan dari orangtuanya kearah sikap sosial yang benar, sehingga dalam berperilaku mereka cenderung didorong oleh nafsu.
c. Children arrested with minimum socialization capacity
Anak dalam kelompok ini sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk belajar sikap-sikap sosial. Hal ini disebabkan mereka tidak pernah mengenal kasih sayang, sehingga mereka cenderung bersikap apatis dan egois.
2. Anak yang mengalami gangguan emosi, yaitu :
a. Neurotic behavior
Anak dikelompok ini masih dapat bergaul dengan orang lain, namun mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Anak seperti ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau terlalu memanjakan mereka, kesalahan pengajaran atau karena kesulitan belajar yang berat
b. Children with psycotic processes
Mereka mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan nyata, hal tersebut disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf akibat keracunan, minuman keras atau narkoba.
Menurut Quay (1979) dalam Samuel A. Kirk and James J. Gallagher (1986) yang dialih bahasakan oleh Moh. Amin dkk (1991 : 51) mengelompokkan sebagai berikut :
a) Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu pada anak yang melawan pada peraturan, hiperaktif dll.
b) Anak yang cemas-menarik diri (anxicus-withdraw) yaitu anak yang pemalu, suka menyendiri, minder dll. Mereka tertekan batinnya.
c) Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu pada anak yang lambat, kurang perhatian, pemalas dll. Mereka mirip anak autistik.
d) Anak agresi sosialisasi (sozialized-aggressive) memiliki ciri yang mirip dengan gangguan perilaku yang bersosialisasi dengan “genk” tertentu. Umumnya mereka menjadi ancaman bagi masyarakat umum.
Pendapat lain menyebutkan bahwa anak yang dikategorikan mengalami kelainan penyesuaian perilaku adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dirumah, disekolah dan dimasyarakat lingkungannya (Mackie, 1957). Subgrup dari bentuk kelainan penyesuaian sosial (social maladjusted) ini adalah delinquent. Batasan tentang delinquent itu sendiri hanya diberikan jika anak terlibat dalam konflik atau pelanggaran hukum, children who have in conflict with the law (Kirk, 1970).
Sebagaimana jenis ketunaan yang lain, anak yang dikategorikan berkelainan perilaku (tuna laras) dapat dikelompokkan dalam jenjang, mulai jenjang sangat ringan sampai sangat berat. Berikut ini beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas berat ringannya ketuna larasan (Riadi, 1978; Patton, 1991).
a. Besar kecilnya gangguan emosi. Makin dalam perasaan negatif, makin berat penyimpangan
b. Frekuensi tindakan. Semakin sering dan kurangnya penyesalan setelah melakukan perbuatan yang tidak baik, dianggap makin berat penyimpangannya
c. Berat ringan kejahatan yang dilakukan. Disesuaikan dengan peraturan hukum pidana
d. Tempat dan situasi pelanggaran/ kenakalan dilakukan. Dianggap berat jika berani melakukannya di lingkungan masyarakat
e. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik.
f. Tunggal atau gandanya ketunaan yang dialami. Jika mempunyai ketunaan lain, masuk dalam kategori berat dalam pembinaannya.

C. Karakteristik Anak Tuna Laras
Karakteristik yang dikemukakan Hallahan dan kauffman (1986) berdasarkan dimensi tingkah laku anak tuna laras adalah sebagai berikut :
1. Anak yang mengalami gangguan perilaku
a. berkelahi, memukul menyerang
b. Pemarah
c. Pembangkang
d. Suka merusak
e. Kurang ajar, tidak sopan
f. Penentang, tidak mau bekerjasama
g. Suka menggangu
h. Suka ribut, pembolos
i. Mudah marah, Suka pamer
j. Hiperaktif, pembohong
k. Iri hati, pembantah
l. Ceroboh, pengacau
m. Suka menyalahkan orang lain
n. Mementingkan diri sendiri

2. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri
a. Cemas
b. Tegang
c. Tidak punya teman
d. Tertekan
e. Sensitif
f. Rendah diri
g. Mudah frustasi
h. Pendiam
i. Mudah bimbang

3. Anak yang kurang dewasa
a. Pelamun
b. Kaku
c. Pasif
d. Mudah dipengaruhi
e. Pengantuk
f. Pembosan

4. Anak yang agresif bersosialisasi
a. Mempunyai komplotan jahat
b. Berbuat onar bersama komplotannya
c. Membuat genk
d. Suka diluar rumah sampai larut
e. Bolos sekolah
f. Pergi dari rumah

Selain karakteristik diatas, berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial/ emosional dan fisik/ kesehatan anak tuna laras.
1. Karakteristik Akademik :
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya, dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Hasil belajar dibawah rata-rata
b. Sering berurusan dengan guru BK
c. Tidak naik kelas
d. Sering membolos
e. Sering melakukan pelanggaran, baik disekolah maupun dimasyarakat, dll
2. Karakteristik Sosial/ Emosional :
Karakteristik sosial/ emosional tuna laras dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Karakteristik Sosial
1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain :
- Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya
- Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok sosial
2) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :
- Tidak mengikuti aturan
- Bersifat mengganggu
- Bersifat membangkang dan menentang
- Tidak dapat bekerjasama
3) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja

b. Karakteristik Emosional

a) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa cemas
b) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat perasa/ sensitif

c. Karakteristik Fisik/ kesehatan :

Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa gangguan makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada yang tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas pada kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu gagap, buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dll.

D. Faktor-faktor Penyebab Tuna Laras
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab tuna laras. Secara umum faktor penyebab tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) faktor internal yaitu faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu tersebut seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya, (2) faktor external yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu, terutama lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat (Patton, 1991)
1. Faktor Internal
a. Berkercerdasan rendah atau kurang dapat mengikuti tuntutan sekolah.
b. Adanya ganguan atau kerusakan pada otak (brain damage)
c. Memiliki ganguan kejiwaan bawaan.
d. Frustasi yang terus menerus

2. Faktor Eksternal
a. Kemampuan sosial dan ekonomi rendah
b. Adanya konflik budaya yaitu adanya perbedaan pandangan hidup antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga.
c. Adanya pengaruh negatif dari genk-genk atau kelompok.
d. Kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya tidak diharapkan.
e. Kondisi keluarga yang tidak harmonis (broken home).
Selain itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa meningkatnya penyimpangan sosial disuatu wilayah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : kurangnya displin diri, lemahnya moral seseorang, mulai melupakan Tuhan, kemajuan masyarakat yang menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru serta kurangnya rasa tanggunga jawab dari pemimpin yang ada. Namun hal tersebut disangkal karena seandainya demikian, mengapa tidak semua orang yang hidup dilingkungan seperti itu menjadi tuna laras, menjadi jahat. Tentu ada hal lain yang menyebabkan seseorang menjadi tuna laras, selain hal-hal tersebut.
Profesor Cyril Burt menekankan bahwa sebab-sebab tuna laras itu kompleks (multiple causation). Setelah kemajuan dibidang ilmu jiwa, ternyata banyak sebab-sebab yang ditemukan pada tuna laras, merujuk pada kondisi mentalnya. Yaitu mereka yang termasuk pribadi yang tidak memiliki penyesuaian diri yang baik atau sehat dengan lingkungan sosialnya, lebih berpotensi mengalami tuna laras.

E. Layanan Pendidikan bagi Anak Tuna laras
Sesuai dengan karakteristik anak tunalaras yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kebutuhan pendidikan anak tuna laras diharapkan dapat mengatasi problem/ permasalahan perilaku anak tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka perlu dilakukan hal-hal berikut :
1. Berusaha mengatasi semua masalah perilaku anak dengan menyesuaikan kondisi dan proses belajar dengan karakteristik anak tuna laras tersebut
2. Berusaha mengembangkan kemampuan fisik anak serta mengembangkan bakat dan intelektualnya
3. Memberi bekal berupa keterampilan khusus yang bermanfaat
4. Memberi kesempatan pada anak agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan norma-norma hidup di masyarakat dengan sebaik-baiknya
5. Memberi rasa aman agar mereka tidak merasa dikucilkan dan mampu mengembangkan rasa percaya diri
6. Memberikan penghargaan pada mereka agar moral mereka terangkat sehingga mereka merasa diterima oleh lingkungan

Kauffman(1996) mengemukakan beberapa kondisi yang menyebabkan ketuna larasan dan pembelajaran tidak berhasil, antara lain :
1. Guru yang tidak sensitif terhadap anak
2. Harapan guru yang tidak wajar
3. Pengelolaan pembelajaran yang tidak konsisten
4. Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
5. Pola reinforcement yang keliru, misalnya diberikan saat anak berlaku tidak wajar
6. Model/ contoh yang tidak baik dari guru atau dari teman sebaya

Kondisi yang tidak menguntungkan tersebut agar dihindari sehingga tidak terjadi perkembangan anak kearah penyimpangan perilaku dan kegagalan akademiknya. Lingkungan sekolah yang ditata baik akan membuat anak senang dan betah untuk belajar dan menghindarkan anak dari rasa bosan, lelah serta tingkah laku yang tidak wajar.
Di dalam pelaksanaannya kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak tuna laras/ sosial sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler.
Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
2. Kelas khusus
Apabila anak tuna laras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas.
Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
3. Sekolah Luar Biasa bagian Tuna laras tanpa asrama
Bagi Anak Tuna laras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
4. Sekolah dengan asrama
Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan selanjutnya adalah usaha pemerataan dan perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Biasanya anak tuna laras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tuna laras ini berarti kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh perbaikan bagi kepribadiannya.
Dengan adanya sekolah bagi anak tuna laras berarti membantu para orangtua anak yang sudah kewalahan mendidik puteranya, membantu para guru yang selalu diganggu apabila sedang mengajar dan mengamankan kawan-kawannya terhadap gangguan anak nakal.
Pengembangan pendidikan bagi anak tuna laras sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha Bimbingan Penyuluhan di sekolah reguler. Sehingga apabila anak itu tidak mengalami perbaikan dari usaha bimbingan dan penyuluhan dari kelas khusus maka mereka dapat dikirim ke Sekolah Luar Biasa bagian Tuna laras.

III. PENUTUP
A. Simpulan
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Selain itu, anak tuna laras merupakan anak yang mengalami hambatan/ kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Faktor penyebab tuna laras dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor internal seperti keturunan, kondisi fisik dan psikis. Sedang faktor eksternal berupa lingkungan, baik keluarga, sekolah ataupun masyarakat.
Secara umum, anak tuna laras dibagi menjadi 4 kategori yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu :
1. Anak yang agresif bersosialisasi
2. Anak yang kurang dewasa
3. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri
4. Anak yang mengalami gangguan perilaku
Anak tuna laras sebagaimana anak luar biasa lainnya berhak memperoleh pendidikan agar dapat berkembang optimal dan mampu mencapai kehidupan yang layak. Tujuan diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tuna laras adalah untuk membantu anak didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan selanjutnya.

B. Saran
Anak tuna laras bukan momok yang harus dikucilkan dalam masyarakat bahkan mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih terfokus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak yang normal lainnya. Sehingga diperlukan lembaga khusus yang menangani anak tuna laras. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

DAFTAR PUSTAKA

Bandi Delphie. 2008. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Universitas Terbuka

Edi Purwanto. 2005. Modifikasi Perilaku. Jakarta : DitjenDikti. Depdiknas.

Hera Lestari M. dkk. 2007. Pendidikan Anak di SD. Jakarta : Universitas Terbuka

IG. A. K. Wardani, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Universitas Terbuka

M. Efendi. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : PT. Bumi Aksara

Siti Maichati. 1983. Kesehatan mental. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM

http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=74 (diakses 01 maret 2010, pukul 21.00)

http://vharsa.wordpress.com/2009/10/20/pembelajaran-tuna-laras/ (diakses 3 maret 2010,pukul 20.30

2 comments:

  1. ug mkalah wat TA PALB maren ugag di masukin aja akh?

    ReplyDelete
  2. Punya ukhti aja yakB-)/
    punyaku kurang bagus ug:-(

    ReplyDelete

Sepatah-dua patah kata dari anda sangat berarti buat kami.
Terima kasih sudah berkunjung...

Pict

Designed by Animart Powered by Blogger